Kamis, 26 Maret 2009

me and my pains

Just when I thought I'd started to regain my life.
Got everything back on track.

Not entirely true.

I just learned that when anyone or anything annoys me,
my soul would quickly fight against them, yell the hell out of me.
By crying, what else.
And eventually, gathering all the thoughts and fears of not yet having any baby.

I've come to my worst state of mind just now.
I asked God to take me now.

And I hated myself for having that thought.
Yet, I was so helpless, almost hopeless.
I started to question what I'd done to deserve all this.
My faith was gone somewhere out of my soul.
I asked it to return soon because I knew I'd betray my promise to be a strong person.
I was too weak to resist.

No, I don't want God to take me now.

I haven't done my business yet here in this world.
I haven't done what I'm supposed to be doing, not just yet.
I will only leave Him to decide for everything I've done in life.
I've prayed for.

I need to be strong.
I'm a strong woman who was taught to survive.
This is just a matter of time.
I shall refuse to surrender.
This is just what my life is supposed to lead.
If I don't complain for all the great things He has given me, why should I complain for all the pains?
Me and my pains, will only make things balanced.

I have to stop my tears somehow before they're taking control of me.
I am strong.
I know I'll stay strong throughout all the waits and even pains.
I know they will all taste sweet in the end, if I can just be patient.
I don't want to lose my faith ever again.

Rabu, 25 Maret 2009

take it easy, sweet pie

It may sound easier said than done, but really,
since God moves in mysterious ways, why bother taking over His tasks?
Let Him be the one to decide everything we've planned, prayed for, and worked on.
So take it easy, sweet pie, says my heart, over and over again.

The progress is quite surprising, though.
Used to feel sad just to see a tv commercial about a mom and a baby, quickly switched the channel.
But now, I've managed to smile and be part of that mother's happiness holding the baby,
as if I was her and the baby was mine.

Now I'm working on how not to feel too jealous about luckier women who got pregnant more easily.
Some even didn't plan the pregnancy at all.
Again, God works in a very mysterious way when it comes to make people pregnant.
None knows why He gives child to this person and not (yet) to that person.
So take it easy, sweet pie, says my heart.

I don't want to sound ungrateful, with all the unlimited blessings He has showered me with.
I've committed to live my days without wondering why I haven't been able to meet my children, yet.
Ones that I've missed even before I see their faces.
I've promised myself I'd live the rest of my life to the most, to the fullest.
I want to happily and sincerely smile when I hear somebody's got pregnant.
I want to pray for those who haven't got as lucky as I am, not just yet.
I want to share anyone my experience, my thoughts,
anything anyone would want to know about from me.


For as much as I'm longing to hold my children,
I keep saying to myself,
take it easy, sweet pie.

Minggu, 22 Maret 2009

ibu nyai

Perempuan hampir paruh baya itu dikenal mampu menyembuhkan penyakit lewat pijatannya. Kakakku pernah menceritakan pengalaman pijit bersamanya, selain mengusir kepenatan sekujur tubuhnya, sifat-sifat buruk yang mengganggu kesehatan kita senantiasa mengalir dari bibir perempuan berjilbab itu. Terkaget-kaget dengan kebenarannya 'menebak' sifat yang musti diperbaikinya, kakakku merekomendasikannya kepadaku.

Sabtu kemarin, akhirnya aku bertemu dengannya. Baru beberapa saat setelah ia memijat kakiku, mengalirlah kata-kata yang sedikit membuatku tersentak. Menurutnya, aku terlalu tegang. Otot-otot tegangku seakan mengiyakan perkataannya. Menurutnya, aku terlalu berpikir keras untuk mendapatkan keturunan. Menurutnya, aku kurang berpasrah diri kepada-Nya. Aku tak dapat mengelak penilaiannya. Kuakui, memang rasanya pikiran untuk memiliki anak ini begitu membelenggu hari-hariku. Tak sedetik pun kulewati waktu tanpa memikirkannya. Kuhitung-hitung usiaku yang tahun ini akan menginjak 30, yang berarti semakin berkurang saja kesuburanku. Kupertimbangkan bagaimana nanti anakku apabila kau merawatnya di usia yang tidak lagi muda. Dan yang paling menyesakkan, hampir tiap malam bila kuterjaga dari tidurku, kupandangi suamiku yang terlelap. Kusentuh urat-urat lelahnya. Air mata pun jatuh mengiringi kepedihanku melihat laki-laki yang sangat kusayangi ini belum bisa menikmati kebahagiaan seutuhnya menjadi seorang ayah. Hanya dengan memikirkan ini saja sudah dipastikanh aku akan menangis. Belum lagi mendengar ceritanya tentang teman-temannya yang sudah memiliki anak. Bagaimana bisa tidak terenyuh hatiku?

Bu Nyai tak henti-hentinya bicara mengenai kepasarahan sepanjang sesi pemijatannya. Katanya, sudah pasrahkan saja kepada Allah, Dia yang lebih tahu semuanya. Tidak usah ikut memikirkan semua, pasti akan ada jalannya, dengan cara apapun. Berbagai kisah nyata perjuangan mendapatkan anak pun ia beberkan, mulai dari yang berhasil setelah bertahun-tahun, hingga yang akhirnya mengadopsi atau merawat anak orang lain.

Aku percaya, Bu, Allah Maha Adil, begitu kataku. Dari sekian banyak doaku, sekian banyak yang sudah dihijab-Nya, kenapa yang satu itu belum juga dikabulkan? Karena aku yakin Allah hanya mau memberi yang terbaik untukku, untuk kami, untuk dunia dan akhirat kami. Mungkin ini cara-Nya untuk senantiasa mendekatkanku pada-Nya, untuk memperbaiki kualitas ibadahku untuk-Nya sebelum akhirnya aku dipanggil. Aku berusaha mensyukuri semua nikmatnya yang begitu berlimpah Dia berikan, Bu. Percayalah, dalam hidupku, alhamdulillah aku senantiasa diberi kemudahan. Semua berjalan sesuai keinginanku. Aku diberi suami yang sangat baik, yang sesuai dengan impianku dulu, yang selalu membimbingku di jalan-Mu dan insya Allah jodohku dunia dan akhirat. Aku diberi orang tua yang sangat menyayangi dan mengasihiku, mendukung keputusan yang terbaik untukku dan mengingatkanku untuk dekat dengan-Mu. Keluargaku yang hangat, penuh kasih dan sayang, perhatian, dukungan, semua begitu indah. Dalam hatiku, bahkan ketika kami mengidamkan untuk tinggal di apartemen pun, Allah mengabulkannya dengan melancarkan segala urusan kami. Banyak hal yang sepertinya tidak masuk akal dan perhitungan kami, namun dijadikan-Nya mungkin terjadi. Jadi aku percaya, Bu, insya Allah memang ini jalan terbaik bagi kami.

Tapi sayangnya, saya hanya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, otak yang tak berhenti berhitung, mengandalkan perhitungan ala manusia yang tentunya tidak ada apa-apanya dengan kuasa-Nya. Akal manusia yang sangat terbatas tak sebanding dengan perhitungan-Nya. Mengapa aku harus repot-repot mengerjakan tugas-Nya ya Bu? Kenapa tidak aku pasrahkan saja ya semua kepada-Nya? Toh Allah yang sekali lagi tahu yang terbaik untuk umat-Nya. Toh Dia selalu memberikan yang terbaik untuk umat-Nya. Kita saja sebagai manusia yang tidak dapat mengartikan kebesaran-Nya dengan tepat.

Tiba-tiba ibu itu bertanya dimana aku mengajar. Kaget juga, karena belum pernah aku berbicara tentang salah satu profesiku itu, bagaimana dia bisa tahu?

Menurutnya, semua organ reproduksiku dalam kondisi yang sangat baik, alhamdulillah. Hanya maagku yang sedikit bermasalah, maka aku pun diminta tidak makan yang pedas dan terlalu asam supaya tidak memperparah kondisi lambungku. Tak putus-putus kuucapkan puji syukur kepada-Nya. Jadi, katanya, seharusnya tidak ada lagi yang harus kukhawatirkan. Dengan mengetahui semuanya baik-baik saja, namun belum juga aku dikaruniai anak, berarti kesimpulannya, ya Allah memang belum menghendaki saja. Waktunya belum tepat sekarang, menurut-Nya. Insya Allah, Dia-lah yang paling mengetahui kapan waktu yang terbaik. Ibu Nyai tak henti menganjurkanku untuk terus berserah diri, biarkan Dia yang memutuskan, kita hanya manusia, berhenti berhitung, berhenti memikirkan, jangan tegang, santai saja, nikmati hidup, syukuri nikmat-Nya.

Ah, sekali lagi aku tersentak. Meratapi anakku yang tak kunjung datang dan mengabaikan nikmat-Nya, memang terdengar tidak bersyukur sama sekali. Sebagai mahluk hormonal, perempuan yang begitu bergantung terhadap hormon, maka aku berjanji dalam hatiku, untuk memberikan kondisi hormon terbaik bagi sistem tubuhku untuk menciptakan kenyamanan calon bayiku kelak. Semoga Allah senantiasa menunjukkan jalan yang terbaik bagi kami, jalan yang diridhoi-Nya, karena kupercaya, apapun yang kulakukan di dunia sementara ini, hendaknya kuniatkan karena Allah ta'ala, tiada yang lain.

Kamis, 19 Maret 2009

terapi akupresure, suatu semangat baru


Hari ini aku menjalani lagi cara alternatif untuk mendapatkan anak, setelah hampir setahun menjalani tindakan medis yang pastinya tak bisa lepas dari obat.

Hampir setahun dan dua inseminasi kemudian, masih belum ada tanda-tanda datangnya anak kami tersayang. Sempat juga kuselingi pengobatan dokter dengan pijat refleksi oleh Ncek Abu di daerah Bandengan. Jauh memang, lumayan mahal pula, apalagi sakitnya minta ampun. Satu-satunya hiburannya adalah durasi pijatnya yang tidak lebih dari 10 menit.

Mungkin menurut laki-laki hokkian itu kalau lebih dari 10 menit, air mata pasien yang terkuras akan menyebabkan dehidrasi hebat. Percaya bahwa semua harus ditempuh dengan sholat, sabar dan ikhtiar, maka setelah browsing sana-sini, kutemukan pengobatan akupesure Ibu Yuli, dengan metode yang tidak jauh berbeda dengan pijat refleksi ala Abu yang menyakitkan, pikirku. Satu hal yang membuatku bersemangat menjalaninya, terapi ini tidak memperbolehkan pasien mengkonsumsi obat atau setidaknya 5 jam sebelum terapi. Ini berarti aku terbebas dari obat-obatan dokter ataupun ramuan-ramuan herbal yang banyak juga ditawarkan pengobatan alternatif lain. Sebenarnya aku masih sayang dengan dokter obgyn-ku, dr. Karel, namun yang kukhawatirkan adalah konsumsi obat-obatan yang terus-menerus yang dapat memicu kista atau yang lebih seram lagi, kanker. Dengan pengetahuan medis seadanya, kuputuskan untuk berhenti sejenak dari bahan-bahan kimia itu. Dari selebaran akupresure Ibu Yuli ini aku paham bahwa tujuan pengobatan ini adalah membuat tubuh kita berfungsi sebagai obat bagi segala macam penyakit kita. Intinya, pemijatan dilakukan di titik-titik dalam rangka menstimulasi tubuh kita mengeluarkan "obat-obat" alami yang dibutuhkan untuk kesembuhan.
Menarik. Sayangnya, terapinya tidak semenarik fungsinya. Bayangkan pijat Abu yang hanya 10 menit tapi cukup membuat mulut mengucap kata tobat berkali-kali, terapi ala Ibu Yuli berlangsung selama 1 jam!

Dengan media bambu kecil yang ujungnya sedikit lancip, titik-titik saraf di kaki pun harus rela menerima perlakuan yang lumayan membuatku berulang kali menarik nafas panjang (pelajaran menahan sakit yang kupelajari dari dokter sabarku, dr. Karel) dan mengucap istighfar tentunya. Bedanya dengan Abu, aku tidak menangis sama sekali. Bangga sekali rasanya, bahkan ketika titik sensitif perempuan, yaitu rahim dan ovarium, ditekan-tekan tanpa perasaan.

Setengah jam lebih kedua telapak kakiku harus kupaksa kesakitan, kasihan mereka. Rupanya pengobatan ini sesuai sekali dengan moto hidupku, bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian. Selesai mendapatkan semua perlakuan menyakitkan tersebut, terapis memijat lenganku, kemudian aku diminta telungkup dan mulailah punggungku, pundak, kepala penatku dipijat dengan nikmatnya. Membuatku tersenyum puas karena tidak perlu lagi keluar biaya untuk creambath hanya untuk dipijat pundakku. Setelah sesi terapi selesai, tidak henti-hentinya aku diingatkan untuk menghindari kaki terkena air sebelum satu jam, dan mandi baru diperbolehkan setelah dua jam.

Aku dianjurkan untuk rutin terapi paling tidak tiga kali seminggu untuk hasil yang maksimal. Sama seperti ahli pengobatan lain, terapisku pun sempat mengucap semoga bulan depan aku sudah tidak bertemu haid bulanan lagi alias sudah hamil. Sama seperti ahli pengobatan lain, mereka senang membesarkan hati pasiennya. Aku hanya berharap semoga mereka dilimpahi pahala yang melimpah karena telah menyalakan kembali api harapan yang senantiasa padam. Aku percaya lewat tangan-tangan merekalah Allah berkehendak. Diam-diam aku bersyukur, ternyata aku masih punya semangat untuk terus berikhtiar dan berdoa. Ternyata genangan air mataku tidak sampai melunturkan asa ini. Sekali lagi aku bangga pada diriku.

Selasa, 17 Maret 2009

complete me

I'm feeling you yet I can't touch you
I've been wanting you for life no one would want to
Things have gone so strange I feel so sober
Yes there are times when I need you more than ever

You're everything I'd ever want to come alive and complete me
I'd sing every song put the smile in your face
You have my word my life with me you will have the best times in your life

I'm loving you eventhough I've never met you
But I believe for love I would do anything
And sometime soon I have faith that I can hold you
Nothing can stop me from praying and hoping

You're everything I'd ever want to come alive and complete me
I'd sing every song put the smile in your face
You have my word my life with me you will have the best times in your life

I'll go through all those pains they sound easy to me
Compare to what may come on that day when I hold you caress you for good

Please come alive and complete me


--written in autumn 2008

Senin, 16 Maret 2009

just a thought

Tidak, aku tidak bisa memandangnya. Berada di dekatnya lima detik saja sudah menguras begitu banyak air mataku yang susah payah kusembunyikan darinya. Hatiku terurai berkeping-keping melihat mata sedih itu. Dia tidak perlu berkata apa-apa, aku mengerti. Ketika keinginan terbesarnya harus lagi-lagi kandas. Jutaan butir doa senantiasa terangkai di keheningan malam. Bergumpal awan harapan yang menyeruak setiap ruang di dadanya. Rangkaian kata yang sudah disiapkannya demi menyambut mimpinya terwujud. Semua hilang hanya dalam bilangan waktu. Tak kuasa kumenatap wajah itu. Wajah yang beberapa saat lalu masih menunjukkan keceriaannya. Asanya. Keyakinannya untuk menjadi seorang ayah tidak lama lagi. Bagaimana harus aku hadapi kepiluan batinnya yang begitu pekat kurasakan? Belum juga kering air mataku meratapi galaunya hatiku, kini yang kuhadapi jauh lebih besar. Melihat sosok yang begitu kusayangi harus merasakan kesedihan yang sama. Garis-garis tawa itu hilang tergantikan semburat sendu yang akan kutukar dengan apapun di dunia ini untuk menghilangkannya.

Mungkin memang kami begitu mendambakannya, sampai-sampai dengan tegas kudeklarasikan ke diriku bahwa inilah tujuan hidupku. Kudekati orang-orang yang begitu mendukungku. Kujauhi orang-orang yang tidak menyukai keputusanku. Semua kulakukan demi semesta yang mendukung tujuanku tersebut. Mungkin kami hanya ingin merasakan kebahagiaan yang semua pasangan lain rasakan. Mungkin kami hanya ingin malam-malam kami diganggu oleh tangisan lapar dan haus yang tak berdaya. Mungkin kami hanya ingin memutar otak kami memikirkan biaya untuk pendidikannya. Mungkin kami memang bertekad untuk menjadi manusia yang seutuhnya dengan memiliki semua peran dalam dunia sesaat ini, termasuk menjadi orang tua.

Susah sekali membendung butir demi butir air mata ini. Benar katanya, rasanya seperti kehilangan seseorang yang sangat dicintai. Bukankah ini menunjukkan bahwa begitu besar cinta kami bahkan sebelum bertemu dengan mereka. Begitu besar rasa kehilangan kami bahkan sebelum melihat wajah mereka. Sekali lagi, harus kami benam dalam-dalam khayalan kami, mimpi kami menimang mereka. Sekali lagi, harus kami relakan kepergian mereka yang bahkan belum sempat hadir.

Terkadang kami menjadi insan yang begitu tidak tahu bersyukur, marah sejadi-jadinya atas keputusan-Nya. Menyangsikan kebesaran-Nya. Menuntut keadilan-Nya. Begitu terperosoknya kami dalam jurang kezaliman. Begitu teganya kami berburuk sangka terhadap Pencipta kami, yang menjadikan kami ada. Tapi apa daya, kami memang mahluk yang penuh dosa. Kesempurnaan begitu jauh untuk diraih. Toh dibalik semua itu, nurani kami selalu berseru bahwa semua ini pasti yang terbaik untuk kami. Diam-diam kami mengucap syukur atas apapun yang telah Dia kehendaki atas kami. Betapa kami tak ingin jauh dari-Nya. Betapa kami ingin tetap menjadi manusia yang tahu diuntung dan pandai bersyukur.

Hanya hati kami yang dapat bicara mewakili kata-kata yang tersumbat. Kami sadar kesedihan ini hanya menunjukkan betapa manusianya kami. Energi kepiluan yang kami hantarkan satu sama lain hanya dengan bersentuhan kulit ini hanya sementara. Kami sadar inilah esensi hidup kami. Kami sadar bahwa Dia begitu menyayangi kami, hingga menunggu yang terbaik bagi kami, dalam hal apa pun. Tak hentinya kami memohon untuk selalu ikhlas menerima apapun kehendak-Nya, mensyukuri apapun pemberian-Nya, karena kami percaya dan yakin.

Hari-hari ini pasti akan segera berlalu. Kami siap menyambut pagi yang lebih ceria. Tak sabar rasanya membuka mata kembali untuk tersenyum dan mengucap syukur. Kami percaya bahwa buah kesabaran kami akan begitu manisnya untuk dipetik kelak. Biarlah saat ini air mata kami yang lebih banyak berkata, sekali lagi bukan untuk menyesali, namun hanya untuk menunjukkan kerapuhan kami sebagai manusia biasa. Biarlah sementara hati kami terasa hampa dan sendu. Biarlah kami cicipi getirnya ketika harapan seakan tak kunjung nyata. Semua tak sebanding dengan nikmat yang telah Dia berikan. Semua tak sebanding dengan secercah pelangi yang telah menanti kami di balik sana setelah badai ini berlalu. Selama kami masih punya harapan. Selama kami masih punya keyakinan. Selama kami masih berani bermimpi. Selama nafas kami masih berhembus, kami tak akan berhenti.

17 Maret 2009