Minggu, 22 Maret 2009

ibu nyai

Perempuan hampir paruh baya itu dikenal mampu menyembuhkan penyakit lewat pijatannya. Kakakku pernah menceritakan pengalaman pijit bersamanya, selain mengusir kepenatan sekujur tubuhnya, sifat-sifat buruk yang mengganggu kesehatan kita senantiasa mengalir dari bibir perempuan berjilbab itu. Terkaget-kaget dengan kebenarannya 'menebak' sifat yang musti diperbaikinya, kakakku merekomendasikannya kepadaku.

Sabtu kemarin, akhirnya aku bertemu dengannya. Baru beberapa saat setelah ia memijat kakiku, mengalirlah kata-kata yang sedikit membuatku tersentak. Menurutnya, aku terlalu tegang. Otot-otot tegangku seakan mengiyakan perkataannya. Menurutnya, aku terlalu berpikir keras untuk mendapatkan keturunan. Menurutnya, aku kurang berpasrah diri kepada-Nya. Aku tak dapat mengelak penilaiannya. Kuakui, memang rasanya pikiran untuk memiliki anak ini begitu membelenggu hari-hariku. Tak sedetik pun kulewati waktu tanpa memikirkannya. Kuhitung-hitung usiaku yang tahun ini akan menginjak 30, yang berarti semakin berkurang saja kesuburanku. Kupertimbangkan bagaimana nanti anakku apabila kau merawatnya di usia yang tidak lagi muda. Dan yang paling menyesakkan, hampir tiap malam bila kuterjaga dari tidurku, kupandangi suamiku yang terlelap. Kusentuh urat-urat lelahnya. Air mata pun jatuh mengiringi kepedihanku melihat laki-laki yang sangat kusayangi ini belum bisa menikmati kebahagiaan seutuhnya menjadi seorang ayah. Hanya dengan memikirkan ini saja sudah dipastikanh aku akan menangis. Belum lagi mendengar ceritanya tentang teman-temannya yang sudah memiliki anak. Bagaimana bisa tidak terenyuh hatiku?

Bu Nyai tak henti-hentinya bicara mengenai kepasarahan sepanjang sesi pemijatannya. Katanya, sudah pasrahkan saja kepada Allah, Dia yang lebih tahu semuanya. Tidak usah ikut memikirkan semua, pasti akan ada jalannya, dengan cara apapun. Berbagai kisah nyata perjuangan mendapatkan anak pun ia beberkan, mulai dari yang berhasil setelah bertahun-tahun, hingga yang akhirnya mengadopsi atau merawat anak orang lain.

Aku percaya, Bu, Allah Maha Adil, begitu kataku. Dari sekian banyak doaku, sekian banyak yang sudah dihijab-Nya, kenapa yang satu itu belum juga dikabulkan? Karena aku yakin Allah hanya mau memberi yang terbaik untukku, untuk kami, untuk dunia dan akhirat kami. Mungkin ini cara-Nya untuk senantiasa mendekatkanku pada-Nya, untuk memperbaiki kualitas ibadahku untuk-Nya sebelum akhirnya aku dipanggil. Aku berusaha mensyukuri semua nikmatnya yang begitu berlimpah Dia berikan, Bu. Percayalah, dalam hidupku, alhamdulillah aku senantiasa diberi kemudahan. Semua berjalan sesuai keinginanku. Aku diberi suami yang sangat baik, yang sesuai dengan impianku dulu, yang selalu membimbingku di jalan-Mu dan insya Allah jodohku dunia dan akhirat. Aku diberi orang tua yang sangat menyayangi dan mengasihiku, mendukung keputusan yang terbaik untukku dan mengingatkanku untuk dekat dengan-Mu. Keluargaku yang hangat, penuh kasih dan sayang, perhatian, dukungan, semua begitu indah. Dalam hatiku, bahkan ketika kami mengidamkan untuk tinggal di apartemen pun, Allah mengabulkannya dengan melancarkan segala urusan kami. Banyak hal yang sepertinya tidak masuk akal dan perhitungan kami, namun dijadikan-Nya mungkin terjadi. Jadi aku percaya, Bu, insya Allah memang ini jalan terbaik bagi kami.

Tapi sayangnya, saya hanya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, otak yang tak berhenti berhitung, mengandalkan perhitungan ala manusia yang tentunya tidak ada apa-apanya dengan kuasa-Nya. Akal manusia yang sangat terbatas tak sebanding dengan perhitungan-Nya. Mengapa aku harus repot-repot mengerjakan tugas-Nya ya Bu? Kenapa tidak aku pasrahkan saja ya semua kepada-Nya? Toh Allah yang sekali lagi tahu yang terbaik untuk umat-Nya. Toh Dia selalu memberikan yang terbaik untuk umat-Nya. Kita saja sebagai manusia yang tidak dapat mengartikan kebesaran-Nya dengan tepat.

Tiba-tiba ibu itu bertanya dimana aku mengajar. Kaget juga, karena belum pernah aku berbicara tentang salah satu profesiku itu, bagaimana dia bisa tahu?

Menurutnya, semua organ reproduksiku dalam kondisi yang sangat baik, alhamdulillah. Hanya maagku yang sedikit bermasalah, maka aku pun diminta tidak makan yang pedas dan terlalu asam supaya tidak memperparah kondisi lambungku. Tak putus-putus kuucapkan puji syukur kepada-Nya. Jadi, katanya, seharusnya tidak ada lagi yang harus kukhawatirkan. Dengan mengetahui semuanya baik-baik saja, namun belum juga aku dikaruniai anak, berarti kesimpulannya, ya Allah memang belum menghendaki saja. Waktunya belum tepat sekarang, menurut-Nya. Insya Allah, Dia-lah yang paling mengetahui kapan waktu yang terbaik. Ibu Nyai tak henti menganjurkanku untuk terus berserah diri, biarkan Dia yang memutuskan, kita hanya manusia, berhenti berhitung, berhenti memikirkan, jangan tegang, santai saja, nikmati hidup, syukuri nikmat-Nya.

Ah, sekali lagi aku tersentak. Meratapi anakku yang tak kunjung datang dan mengabaikan nikmat-Nya, memang terdengar tidak bersyukur sama sekali. Sebagai mahluk hormonal, perempuan yang begitu bergantung terhadap hormon, maka aku berjanji dalam hatiku, untuk memberikan kondisi hormon terbaik bagi sistem tubuhku untuk menciptakan kenyamanan calon bayiku kelak. Semoga Allah senantiasa menunjukkan jalan yang terbaik bagi kami, jalan yang diridhoi-Nya, karena kupercaya, apapun yang kulakukan di dunia sementara ini, hendaknya kuniatkan karena Allah ta'ala, tiada yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar