Kamis, 19 Maret 2009

terapi akupresure, suatu semangat baru


Hari ini aku menjalani lagi cara alternatif untuk mendapatkan anak, setelah hampir setahun menjalani tindakan medis yang pastinya tak bisa lepas dari obat.

Hampir setahun dan dua inseminasi kemudian, masih belum ada tanda-tanda datangnya anak kami tersayang. Sempat juga kuselingi pengobatan dokter dengan pijat refleksi oleh Ncek Abu di daerah Bandengan. Jauh memang, lumayan mahal pula, apalagi sakitnya minta ampun. Satu-satunya hiburannya adalah durasi pijatnya yang tidak lebih dari 10 menit.

Mungkin menurut laki-laki hokkian itu kalau lebih dari 10 menit, air mata pasien yang terkuras akan menyebabkan dehidrasi hebat. Percaya bahwa semua harus ditempuh dengan sholat, sabar dan ikhtiar, maka setelah browsing sana-sini, kutemukan pengobatan akupesure Ibu Yuli, dengan metode yang tidak jauh berbeda dengan pijat refleksi ala Abu yang menyakitkan, pikirku. Satu hal yang membuatku bersemangat menjalaninya, terapi ini tidak memperbolehkan pasien mengkonsumsi obat atau setidaknya 5 jam sebelum terapi. Ini berarti aku terbebas dari obat-obatan dokter ataupun ramuan-ramuan herbal yang banyak juga ditawarkan pengobatan alternatif lain. Sebenarnya aku masih sayang dengan dokter obgyn-ku, dr. Karel, namun yang kukhawatirkan adalah konsumsi obat-obatan yang terus-menerus yang dapat memicu kista atau yang lebih seram lagi, kanker. Dengan pengetahuan medis seadanya, kuputuskan untuk berhenti sejenak dari bahan-bahan kimia itu. Dari selebaran akupresure Ibu Yuli ini aku paham bahwa tujuan pengobatan ini adalah membuat tubuh kita berfungsi sebagai obat bagi segala macam penyakit kita. Intinya, pemijatan dilakukan di titik-titik dalam rangka menstimulasi tubuh kita mengeluarkan "obat-obat" alami yang dibutuhkan untuk kesembuhan.
Menarik. Sayangnya, terapinya tidak semenarik fungsinya. Bayangkan pijat Abu yang hanya 10 menit tapi cukup membuat mulut mengucap kata tobat berkali-kali, terapi ala Ibu Yuli berlangsung selama 1 jam!

Dengan media bambu kecil yang ujungnya sedikit lancip, titik-titik saraf di kaki pun harus rela menerima perlakuan yang lumayan membuatku berulang kali menarik nafas panjang (pelajaran menahan sakit yang kupelajari dari dokter sabarku, dr. Karel) dan mengucap istighfar tentunya. Bedanya dengan Abu, aku tidak menangis sama sekali. Bangga sekali rasanya, bahkan ketika titik sensitif perempuan, yaitu rahim dan ovarium, ditekan-tekan tanpa perasaan.

Setengah jam lebih kedua telapak kakiku harus kupaksa kesakitan, kasihan mereka. Rupanya pengobatan ini sesuai sekali dengan moto hidupku, bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian. Selesai mendapatkan semua perlakuan menyakitkan tersebut, terapis memijat lenganku, kemudian aku diminta telungkup dan mulailah punggungku, pundak, kepala penatku dipijat dengan nikmatnya. Membuatku tersenyum puas karena tidak perlu lagi keluar biaya untuk creambath hanya untuk dipijat pundakku. Setelah sesi terapi selesai, tidak henti-hentinya aku diingatkan untuk menghindari kaki terkena air sebelum satu jam, dan mandi baru diperbolehkan setelah dua jam.

Aku dianjurkan untuk rutin terapi paling tidak tiga kali seminggu untuk hasil yang maksimal. Sama seperti ahli pengobatan lain, terapisku pun sempat mengucap semoga bulan depan aku sudah tidak bertemu haid bulanan lagi alias sudah hamil. Sama seperti ahli pengobatan lain, mereka senang membesarkan hati pasiennya. Aku hanya berharap semoga mereka dilimpahi pahala yang melimpah karena telah menyalakan kembali api harapan yang senantiasa padam. Aku percaya lewat tangan-tangan merekalah Allah berkehendak. Diam-diam aku bersyukur, ternyata aku masih punya semangat untuk terus berikhtiar dan berdoa. Ternyata genangan air mataku tidak sampai melunturkan asa ini. Sekali lagi aku bangga pada diriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar