Senin, 16 Maret 2009

just a thought

Tidak, aku tidak bisa memandangnya. Berada di dekatnya lima detik saja sudah menguras begitu banyak air mataku yang susah payah kusembunyikan darinya. Hatiku terurai berkeping-keping melihat mata sedih itu. Dia tidak perlu berkata apa-apa, aku mengerti. Ketika keinginan terbesarnya harus lagi-lagi kandas. Jutaan butir doa senantiasa terangkai di keheningan malam. Bergumpal awan harapan yang menyeruak setiap ruang di dadanya. Rangkaian kata yang sudah disiapkannya demi menyambut mimpinya terwujud. Semua hilang hanya dalam bilangan waktu. Tak kuasa kumenatap wajah itu. Wajah yang beberapa saat lalu masih menunjukkan keceriaannya. Asanya. Keyakinannya untuk menjadi seorang ayah tidak lama lagi. Bagaimana harus aku hadapi kepiluan batinnya yang begitu pekat kurasakan? Belum juga kering air mataku meratapi galaunya hatiku, kini yang kuhadapi jauh lebih besar. Melihat sosok yang begitu kusayangi harus merasakan kesedihan yang sama. Garis-garis tawa itu hilang tergantikan semburat sendu yang akan kutukar dengan apapun di dunia ini untuk menghilangkannya.

Mungkin memang kami begitu mendambakannya, sampai-sampai dengan tegas kudeklarasikan ke diriku bahwa inilah tujuan hidupku. Kudekati orang-orang yang begitu mendukungku. Kujauhi orang-orang yang tidak menyukai keputusanku. Semua kulakukan demi semesta yang mendukung tujuanku tersebut. Mungkin kami hanya ingin merasakan kebahagiaan yang semua pasangan lain rasakan. Mungkin kami hanya ingin malam-malam kami diganggu oleh tangisan lapar dan haus yang tak berdaya. Mungkin kami hanya ingin memutar otak kami memikirkan biaya untuk pendidikannya. Mungkin kami memang bertekad untuk menjadi manusia yang seutuhnya dengan memiliki semua peran dalam dunia sesaat ini, termasuk menjadi orang tua.

Susah sekali membendung butir demi butir air mata ini. Benar katanya, rasanya seperti kehilangan seseorang yang sangat dicintai. Bukankah ini menunjukkan bahwa begitu besar cinta kami bahkan sebelum bertemu dengan mereka. Begitu besar rasa kehilangan kami bahkan sebelum melihat wajah mereka. Sekali lagi, harus kami benam dalam-dalam khayalan kami, mimpi kami menimang mereka. Sekali lagi, harus kami relakan kepergian mereka yang bahkan belum sempat hadir.

Terkadang kami menjadi insan yang begitu tidak tahu bersyukur, marah sejadi-jadinya atas keputusan-Nya. Menyangsikan kebesaran-Nya. Menuntut keadilan-Nya. Begitu terperosoknya kami dalam jurang kezaliman. Begitu teganya kami berburuk sangka terhadap Pencipta kami, yang menjadikan kami ada. Tapi apa daya, kami memang mahluk yang penuh dosa. Kesempurnaan begitu jauh untuk diraih. Toh dibalik semua itu, nurani kami selalu berseru bahwa semua ini pasti yang terbaik untuk kami. Diam-diam kami mengucap syukur atas apapun yang telah Dia kehendaki atas kami. Betapa kami tak ingin jauh dari-Nya. Betapa kami ingin tetap menjadi manusia yang tahu diuntung dan pandai bersyukur.

Hanya hati kami yang dapat bicara mewakili kata-kata yang tersumbat. Kami sadar kesedihan ini hanya menunjukkan betapa manusianya kami. Energi kepiluan yang kami hantarkan satu sama lain hanya dengan bersentuhan kulit ini hanya sementara. Kami sadar inilah esensi hidup kami. Kami sadar bahwa Dia begitu menyayangi kami, hingga menunggu yang terbaik bagi kami, dalam hal apa pun. Tak hentinya kami memohon untuk selalu ikhlas menerima apapun kehendak-Nya, mensyukuri apapun pemberian-Nya, karena kami percaya dan yakin.

Hari-hari ini pasti akan segera berlalu. Kami siap menyambut pagi yang lebih ceria. Tak sabar rasanya membuka mata kembali untuk tersenyum dan mengucap syukur. Kami percaya bahwa buah kesabaran kami akan begitu manisnya untuk dipetik kelak. Biarlah saat ini air mata kami yang lebih banyak berkata, sekali lagi bukan untuk menyesali, namun hanya untuk menunjukkan kerapuhan kami sebagai manusia biasa. Biarlah sementara hati kami terasa hampa dan sendu. Biarlah kami cicipi getirnya ketika harapan seakan tak kunjung nyata. Semua tak sebanding dengan nikmat yang telah Dia berikan. Semua tak sebanding dengan secercah pelangi yang telah menanti kami di balik sana setelah badai ini berlalu. Selama kami masih punya harapan. Selama kami masih punya keyakinan. Selama kami masih berani bermimpi. Selama nafas kami masih berhembus, kami tak akan berhenti.

17 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar